Home > Nusantara > Melihat Lebih Dekat Kampung Hukaea Laea (Bagian-1)

Melihat Lebih Dekat Kampung Hukaea Laea (Bagian-1)

Wednesday, 8 February 2012 Leave a comment Go to comments

Perkampungan Tua yang Terkoyak Karena Masuknya DI/TII

Hukaea Laea merupakan salah satu perkampungan tua di Bombana. Daerah ini dihuni suku asli Moronene. Namun setelah gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) masuk, penduduk di kampung Hukaea Laea mulai terpecah.

Nuryadi, Bombana

Kampung Hukaea Laea terletak sekitar 35 kilometer dari Kasipute, Ibukota Kabupaten Bombana. Daerah ini, berada di atas Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Untuk mencapai daerah ini, harus melewati padang savana yang luas. Akses masuknya bisa menggunakan mobil atau motor. Namun pengemudinya harus berhati-hati sebab jalur yang dilalui merupakan daerah terlarang untuk beraktivitas yakni lahan konservasi. Secara administrasi, Hukaea Laea saat ini masuk wilayah Dusun 3, Desa Watu-Watu, Kecamatan Lantari Jaya.

Hukaea Laea merupakan perkampungan tua (disebut Tobu dalam bahasa Moronene). Orang yang pertama mendirikan perkampungan ini adalah Tabihi sejak 300 tahun lalu. Tabihi kemudian beranak pinak hingga mencapai generasi ketujuh. Sampai sekarang Hukaea Laea dihuni oleh keturunan langsung dari generasi orang Moronene.

Nama Hukaea Laea diambil berdasarkan kondisi alam yang ada. Pemberian nama ini dilakukan ketika orang Moronene berpindah tempat tinggal dan berladang dari sungai Pampaea dan Raromponda (kemudian bernama Lampopala), ke Wukulano (tulang daun agel), daerah yang sekarang masuk dalam klaim Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Saat pindah di Wukulano karena gangguan nyamuk di Raromponda, penduduk asli Moronene menemukan pohon melinjo besar yang tumbuh di lahan barunya. Dari penemuan itu, perkampungan mereka yang baru ini lalu diberi nama Hukaea (pohon melinjo besar). Sedangkan Laea, sungai besar yang berada di sepanjang perkampungan itu.

Tobu Hukaea Laea dulunya merupakan perwakilan distrik Rumbia yang pernah dipimpin seorang Mokole atau under distrik (perwakilan camat) yakni almarhum Lababa. Menurut Mansur Lababa, (cucu dari Lababa), kakeknya memerintah sejak tahun 1913-1958. Setelah Lababa mangkat, tobu Hukaea Laea diserahkan kepada adik Lababa, Muhammad Saleh. Tahun 1965-1979 Tobu atau kampung Hukaea dipimpin oleh Ntamaate.

Selama berada di Hukaea Laea, orang Moronene berladang dan berkebun di sekitar hulu sungai Laea. Alasannya, kata Mansur Lababa, tanah di sekitar itu sangat subur. Tanaman ladang yang mereka tanam diantarnya jagung, padi dan sayuran. Sedangkan jenis tanaman kebunnya seperti mangga, nangka, dan kelapa. Bahkan dari beberapa tanaman kebun itu, masih dijumpai sampai saat ini di Hukaea Laea.

Selain berpindah ke hulu sungai Laea, orang Moronene lainnya memilih di Pada Laea atau daerah bagian bawah hulu sungai Laea, sehingga pada tahun 1937, masyarakat di bawah hulu sungai Laea membangun pemukiman yang berdekatan dengan tobu Hukaea, atas persetujuan Mokole Lababa.
Seiring dengan terbentuk dan berkembangnya sejumlah tobu di sepanjang sungai Laea, maka pemerintahan Distrik Rumbia dibawah pemerintahan Munara (ayah I Pimpie, kepala Distrik Rumbia terakhir), mengukuhkan mokole Hukaea sebagai distrik Rumbia yang berkedudukan di Hukaea. Sebagai perwakilan distrik, Hukaea mencakup 11 tobu, yakni Laea, Hukaea, PadaLaea, Wukulanu, Wawompoo, Wambakowu dan Lampopala. Tujuh tobu ini, kini terletak di dalam lahan konservasi karena diklaim masuk dalama kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sedangkan empat Tobu lainnya, kata Mansur Lababa, adalah Rarongkeu (desa Lameroro sekarang), Pu’ungkowu (kini dusun II Wumbubangka), Langkowala serta Tembe (oleh Pemda Sulawesi Tenggara diera Gubernur almarhum La Ode Kaimoeddin) disebut Hukaea baru.

Mansur Lababa mengatakan, hingga tahun 1952, orang Moronene di 11 tobu itu hidupnya masih aman dan tentram. Namun pada setahun kemudian, ketentraman mereka mulai terkoyak-koyak, seiring dengan masuknya pemberontak, mulai dari gerombolan badik hingga gerombolan DI/TII. Gerombolan pengacau tersebut menyerbu 11 tobu itu, membakar rumah warga, merampas kekayaan penduduk bahkan membunuh mereka yang melakukan perlawanan.

Orang Moronene yang hidup di sebelas tobu itu, termasuk Hukaea Laea mulai terpencar-pencar. Kata mantan calon wakil Bupati Bombana di Pilkada 2010 lalu, mereka ada yang diusingkan di Lerepako distrik Punggaluku (kini kecamatan Lainea), distrik Kasipute, Dambata Uti (jembatan besi kini hombes), Tembe, hingga Lampopala.

“Kami pindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya tanpa kepastian hidup yang jelas. Lebih dari lima kampung kami
pindah-pindah. Meski begitu, masih ada warga Moronene yang menetap di Hukaea Laea. Mereka merupakan warga Hukaea yang bersembunyi di hutan saat pengungsian,” begitu cerita Mansur Lababa.(bersambung-HARIAN KENDARI POS)

Categories: Nusantara Tags:
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Balas